Misteri Galih Gumelar - Pembaca Misteri Galih Gumelar, pada hakekatnya kebudayaan merupakan hasil “budi” dan “daya” manusia yaitu mengangkat derajat manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling tinggi di antara makhluk-makhluk Tuhan yang lain, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dengan kebudayaan kita dapat mengetahui tingkat peradaban manusia pendukungnya.
Dengan demikian perlu kita sadari bahwa tingkat kebudayaan banyak ditentukan oleh kemampuan manusia itu sendiri dalam menghadapi tantangan alam sekitar lingkungan di mana mereka tinggal dan hidup. Kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu, yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, meskipun sangat sederhananya kebudayaan itu. Setiap manusia adalah makhluk yang berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam suatu kebudayaan (Ralph, 1999: 30).
Dari referesni yang didapatkan dari Otok Herum Marwoto dikatakan bahwa budaya yang berkembang cukup baik di Indonesia adalah budaya kesenian yang bersifat tradisi, yang perkembangannya terjadi secara turun temurun. Semua itu bisa terjadi karena di Indonesia sendiri dalam sejarahnya bermula dari masyarakat penganut aliran Animisme dan Dinamisme yang cukup lama. Kemudian dalam perkembangannya kesenian yang bersifat tradisi tersebut mulai berkurang kontinuitasnya karena munculnya aliran-aliran baru yang disebut agama yaitu agama Hindu, Budha, Islam, Nasrani, dan sebagainya hingga sekarang ini.
Otok Herum Marwoto mengatakan bahwa tradisi kesenian Jawa yang berkembang saat itu memang masih banyak dipengaruhi oleh agama Hindu, yang masuk terlebih dahulu sebelum Islam masuk. Kebudayaan Jawa yang sudah mengakar kuat di masyarakat memang tidak bisa dihilangkan begitu saja, sehingga baik Hindu, Budha, Islam maupun aliranaliran yang lainnya ketika masuk di Jawa dan berkembang pasti akan ada pengaruh tradisi Jawanya.
Salah satu dari sekian banyak hasil kesenian warisan nenek moyang bangsa Indonesia adalah wayang kulit. Wayang kulit merupakan cabang kesenian yang populer dan digemari oleh sebagian masyarakat Indonesia, suatu karya seni yang diakui adhiluhung, terutama nilai filsafat yang terkandung dalam cerita wayangnya. Wayang kulit purwa diakui sebagai suatu hasil karya seni yang tinggi bahkan telah mencapai puncak keindahannya, akan tetapi bentuk dari wayang kulit purwa itu sendiri sampai kini masih terus berkembang, walaupun dalam kadar yang rendah (perubahan yang tidak begitu menyolok).
Dalam pembahasan ke 1 ini, perlu diktehaui bahwa wayang kulit sebagai boneka dua matra memiliki perbedaan karakteristik yang cukup menonjol dengan bentuk boneka wayang lain. Wayang kulit menampilkan distorsi perwujudan bentuk yang memiliki keistimewaan tertentu.
Bentuk rupa dengan ketepatan distorsinya mampu mencerminkan beragam watak manusia. Tak heran wayang kulit mampu berevolusi selama beratus-ratus tahun untuk mencapai bentuk yang paling mantap (Sutopo, 1992: 69).
Masyarakat Jawa memiliki kecenderungan untuk menyampaikan sesuatu secara tidak langsung yaitu melalui simbol, sanepan (perumpamaan), ataupun sindiran. Gaya bahasa semacam itu sangat mengakar di dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak diketahui aturan tidak tertulis (Herusatoto, 1987: 86). Hal tersebut sangat menarik untuk dikaji dalam mencari suatu kebenaran. Metode komunikasi tersebut dapat menyampaikan pesan ataupun ajaran dengan baik tanpa menimbulkan konflik antar komunikan. Dalam dunia pewayangan masih banyak sekali misteri-misteri yang hingga sekarang masih belum terungkap, baik dalam hal kesusasteraannya maupun bentuk wayangnya itu sendiri. Bentuk wayang kulit pada jaman dahulu tidaklah seperti pada bentuk wayang kulit yang kita lihat sekarang, terutama bentuk wayang kulit sebelum peradaban modern itu muncul, termasuk bahan atau materi dari wayang itu sendiri yang terbuat dari kulit binatang.
Mengenai bahan kulit binatang untuk pembuatan wayang sampai sekarang juga masih merupakan misteri, karena keterangan mengenai bahan kulit binatang itu sendiri baru dijumpai pada jaman Demak. Pada waktu itu para Raja dan para Wali di pulau Jawa gemar akan kesenian daerah termasuk pada wayang. Secara aktif mereka menyempurnakan wayang baik dari bentuk, bahan, gambar, cara pertunjukan, alat perlengkapan serta sarana lainnya. Salah satu keterangannya adalah: Pada tahun kurang lebih 1520 wayang dibuat pipih dengan bahan terbuat dari kulit kerbau yang dihaluskan dan
ditatah dengan halus(Soekatno,1992: 190).
Sedangkan keterangan lain yang menyebutkan penggunaan kulit untuk wayang tetapi juga tidak menyebut dari kulit binatang adalah dalam kitab Kakawin Arjunawiwaha, nyanyian ke-V, bait 9, yang
ditulis oleh mpu Kanwa masa pemerintahan raja Airlangga di Kediri yaitu tahun 1019-1042 Masehi, di dalamnya terdapat bagian yang menceritakan pertunjukan wayang dengan cukup jelas, yang berbunyi: Hanonton [sic,Hananonton] ringgit manangis asekel muda hidepan huwus wruh towin yan
walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wiyasa malaha tan wihikana ri tat wan yan maya sahanahananing bhawa siluman. Kutipan ini kurang lebih berarti: orang yang menyaksikan pertunjukkan wayang, ada yang lalu menangis atau sedih hatinya, walaupun ia sudah tahu bahwa yang dilihatnya itu hanyalah kulit yang dipahat saja yang dibuat seakan-akan dapat bergerak dan berbicara (Mangkudimeja, 1979: 142).
Dari bukti-bukti tersebut dapat diketahui bahwa semenjak abad XI Masehi wayang sudah mempergunakan boneka dari kulit yang diukir (walulang inukir), namun itu juga belum menunjukkan bahwa kulit yang diukir tersebut apakah dari kulit binatang atau dari kulit yang lain selain kulit binatang.
Tahun 1500 sebelum Masehi bangsa Indonesia memeluk kepercayaan Animisme dan dinamisme, yaitu suatu anggapan bahwa semua benda ini bernyawa dan mempunyai kekuatan gaib. Pada jaman Neolitikum bangsa Indonesia membuat alat pemujaan berupa patungpatung yang dijadikan tempat untuk memanggil roh-roh nenek moyang guna dimintai restu, pertolongan, perlindungan, obat-obatan dan lain sebagainya. Sisa-sisa kepercayaan ini sampai saat ini masih tetap ada, misalnya banyak orang pergi ke gunung-gunung untuk meminta sesuatu dengan cara-caranya sendiri. Kemudian pada waktu itu mereka sering memanggil roh leluhur mereka dengan sarana benda-benda yang sangat dekat dengan leluhur mereka ketika masih hidup, bahkan dimungkinkan menggunakan sebagian dari tubuh leluhur mereka yang sudah mati, seperti tulang, kulit, rambut dan sebagainya. Dari situlah kemungkinan besar fungsi wayang pada jaman dahulu bukan sebagi sarana upacara tradisi dan hiburan semata, namun memang sebagi benda atau alat untuk menghadirkan roh leluhur mereka.
Keberadaan wayang kulit yang terbuat dari kulit manusia hingga kini diyakini masih ada, meskipun kemungkinan itu semua hanya sebuah mitos atau legenda masyarakat yang sebagian masih ada yang
meyakininya.
Di dusun Kedakan, desa Kenalan, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang, diyakini masih ada pertunjukan wayang kulit yang salah satu wayangnya terbuat dari kulit manusia. ‘Wayang Kulit Manusia’ ini memang diwariskan secara turun temurun hingga sekarang dipegang atau dimiliki oleh seorang dalang yang bernama bapak Sumitro. Wayang ini juga tidak sembarangan bisa dipentaskan, akan tetapi hanya dipentaskan untuk acara-acara khusus saja seperti untuk meruwat Bocah Bajang (anak yang rambutnya gimbal), juga meruwat sukerto (anak yang bernasib sial), atau acara khusus di bulan Syawal dan bulan Sapar saja.
Wayang bagi orang Jawa, merupakan pertunjukan sakral. Maka, dalam setiap pertunjukannya, harus lancar tanpa halangan. Kelancaran pertunjukan, tentu saja melibatkan dalang sebagai empunya pagelaran.
Konon Seorang dalang tidak hanya mempersiapkan hal yang kasat mata, namun juga waspada terhadap gangguan yang tak kasat mata. Gangguan atau bahaya ini, tulis W. H. Rassers dalam Over den zin van Het Javaansche Drama (Makna dari Lakon Wayang Jawa), misalnya rubuhnya panggung wayang dan menimpa dalang.
Dan untuk menangkal gangguan tak kasat mata, dalang memiliki mantra khusus. Pengucapan mantra ini, dilakukan selama masa persiapan hingga saat pertunjukan akan dimulai. Setidaknya, ia perlu mendaras lima macam mantra.
“Aum awignam astu sing lelembut pedhanyangan sira ing [rumah dalang] kang kekiter kang semara bumi bujang babo kabuyutan. Allah rewang-rewangana aku, katekana sasedyaku, katurutana sakarepku. Umat lanang umat wadon, andhedulu marang aku, teka demen teka asih, asih saking kersane Allah, ya hu Allah, ya hu Allah, ya hu Allah,” tulis Ki Slamet Sutrisno dalam ‘Pedhalangan Jangkep’ seperti dikutip dari Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta karya B. Sularto dan S. Ilmi Albiladiyah.
Dalam mantra pertama, dalang menyapa lelembut atau dhanyang yang ada disekitarnya. Menyapa dhanyang atau lelembut ini penting, sebab, tulis Frans Magniz Suseno dalam Etika Jawa, alam asli atau alam kasar bagi orang Jawa adalah buas, angker, penuh dengan roh tidak dikenal.
Dari situ, si dalang berjalan menuju rumah penanggap wayang. Sesampai dipanggung, ketika duduk didepan layar, ia mengucap mantra kedua. Kali ini, mantranya ditujukan kepada penonton yang sudah bersiap, supaya tenang dan tak beranjak dari tempatnya hingga pagelaran usai.
Mantra ketiga dan keempat diucapkan bersusulan, yaitu ketia ia membetulkan blencong –lampu minyak penerang layar- dan saat ia memukul kotak wayang pertama kali.
Gending berbunyi. Dalang mengangkat gunungan ditengah layar, kemudian perlahan diturunkan kembali. Cempurit (pegangan kayu) diletakkan di pangkuan, lalu ujung gunungan ditaruh dipinggir kotak sambil dipijit-pijit. Saat memijit gunungan itu, tulis Darmoko dalam laporan penelitian berjudul Unsur Mantra Dalam Lakon Wayang Kulit Purwa, dalang mengucap mantra pamungkas.
“Mumangungkung awakku kadya gunung, kul kul dhingkul, rep rep sirep, wong sabuwana teka kedhep, teka lerep, teka welas teka asih, asih saking kersane Allah,” seperti dikutip dalam Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta. Pagelaran pun dimulai.
Mantra dalam wayang kulit berupa struktur kata-kata dengan mencampurkan beberapa bahasa. Percampuran bahasa tersebut biasanya berisi bahasa Sansekerta, Jawa Kuna dan Jawa Baru. Disini, pengulangan kata atau larik, catat Abdul Rozak Zaidan dalam Kamus Istilah Sastra, termasuk ciri mantra yang paling menonjol.
Mantra atau doa, catat Darmoko dalam laporan penelitiannya, yang diucapkan sejak awal pertunjukan dapat menimbulkan kekuatan batin bagi dalang.
“Oleh karena itu dengan berdoa yang ditujukan tentunya pasti kepada Sang Hyang Tunggal/Sang Hyang Tan Ana akan selamat kepada tujuannya yaitu menyampaikan makna atau amanat kemenangan kubu kebaikan melawan keburukan,”
Dari hasil penelitian menyatakan bahwa masyarakat Kedakan sangat menjunjung tinggi budaya tradisi setempat, ini terbukti dengan terpeliharanya budaya tradisi memetri desa atau bersih desa yang diadakan setiap 1 tahun sekali, yaitu pada bulan Sapar (bulan Jawa/Islam). Biasanya setiap kali mengadakan upacara memetri desa/bersih desa selalu diadakan pertunjukan wayang kulit keramat, yaitu wayang kulit yang oleh masyarakat setempat sangat dikeramatkan dan disakralkan karena ada 1 tokoh wayang kulit yang diyakini terbuat dari kulit manusia. Pertunjukan ‘Wayang Kulit Manusia’ ini hanya 2 kali dalam setahun,yaitu setiap bulan Sapar dan Syawal, selain bulan itu tidak dipertunjukkan kepada umum kecuali kalau ada permintaan dari warga masyarakat karena nadar/kaul.
Dari tuulisan Otok Herum Marwoto Wayang adalah pusaka milik penduduk bukan milik pribadi. Dari penuturan Sumitro, yang melanjutkan ceritanya dari sesepuh sebelumnya (Sudarjo) dan nenek moyangnya, Ki Hajar dahulu adalah tokoh agama yang membawa budaya wayang kulit. Entah alasan apa, Ki Hajar sampai menetap di daerah Dakan ini. Sebetulnya, nama desa Kedakan ini bermula dari kata duka, yang berarti marah. Dahulu Ki Hajar bersama teman satu perguruannya Ki Hajar Windu Sono datang ke wilayah kabupaten Magelang sama-sama membawa seperangkat wayang beserta gamelannya.
Kemudian masing masing berpisah, Ki Hajar Windu sono menetap di dusun Windu sabrang, desa Sindu dan Ki Hajar Daka di dusun Kedakan, desa Kenalan.
Tempat Ki Hajar bertempat tinggal di sebuah desa yang sekarang bernama desa Windu. Karena ada yang memfitnah dirinya, Ki Hajar menjadi marah atau dalam bahasa Jawa duka. Maka di tempat Ki Hajar duka inilah, menjadi desa Dakan atau yang sekarang disebut sebagai desa Kedakan, yang artinya tempat Ki Hajar duka (marah).
Masih dari penuturan Sumitro, jumlah wayang kulit yang dimiliki Ki Hajar ada dua kotak. Tetapi, yang satu kotak tersimpan dalam batu yang mirip kotak penyimpan wayang kulit pada umumnya yang berada pada sebuah makam.
Sedangkan kotak wayang kulit yang lainnya hingga kini masih ada di dusun Kedakan sebagai barang pusaka milik masyarakat desa Kedakan. “Jadi wayang kulit ini adalah milik warga desa Kedakan. Bukan milik perorangan, sebagai barang pusaka. Tetapi sering diaku milik orang pribadi,”3 Menurut Sumitro, selain peninggalan Ki Hajar berupa wayang kulit, juga ada peninggalan lain berupa seperangkat gamelan. Tetapi sekarang ini seperangkat gamelan yang merupakan peninggalan Ki Hajar yang seharusnya keberadaannya selalu melekat dengan wayang kulit sudah tidak satu lagi. “Ini yang menjadi keprihatianan masyarakat Desa Kedakan. Dari penuturan masyarakat seputar lereng Merapi Merbabu, kisah wayang pusaka ini sangat kondang. Selain wingitnya wayang kulit, keunikan pagelaran wayang kulit. Gamelan yang sangat sederhana karena jumlah dan jenisnya yang tidak seperti lazimnya, hanya mirip gamelan untuk jathilan jaran kepang.
Jenis gamelan yang ditinggalkan adalah berupa kethuk, kenong, sarong, gong dan kendhang. Kecuali itu, menurut tradisi, dalangnya pun harus makan sirih kinang kalau mau pentas.Struktur pada ‘Wayang Kulit Manusia’ khususnya pada tokoh Arjuna tidak jauh berbeda denga wayang-wayang pada umumnya, yaitu terbuat dari bahan kulit dan dipahat dan disungging. Akan tetapi yang membuat berbeda dengan wayang-wayang yang lain adalah mitos yang berkembang di masyarkat bahwa wayang kulit tokoh Arjuna tersebut terbuat dari kulit manusia.
Mengenai bentuk dari ‘Wayang Kulit Manusia’ tersebut khususnya pada tokoh Arjuna bergaya campuran (prayungan) antara gaya Yogyakarta dengan gaya Surakarta, tetapi lebih banyak atau lebih condong kepada gaya Yogyakarta. Ini bisa dilihat dari bentuk global dari wayang tersebut yang banyak mempergunakan unsur-unsur tatahan dan sunggingan gaya Yogyakarta. Akan tetapi pada bagian muka serta beberapa bagian unsur tatahan yang bergaya Surakarta.
Menurut Sagio salah seorang penatah wayang keraton Yogyakarta, kalau melihat dari bentuk tatahannya jelas wayang tersebut banyak menggunakan tatahan gaya Yogyakarta. Akan tetapi memang ada beberapa bagian yang dalam tatahannya menggunakan tatahan gaya Surakarta sehingga wayang tersebut memang tidak murni bergaya Yogyakarta.
Selanjutnya Sagio mengatakan bahwa wayang tersebut mirip sekali dengan wayang koleksi dari keraton yang tertua, yaitu wayang keraton ciptaan antara Hamengku Buwono I dan Hamengku Buwono II, yaitu sekitar abad 17 dan 18 Sehingga diperkirakan wayang tokoh Arjuna tersebut dibuat antara tahun 1756 sampai tahun 1800.
Hal senada juga dikatakan oleh Ledjar Subroto mengenai ‘Wayang Kulit Manusia’ tersebut memang cenderung bergaya Yogyakarta, ini terlihat dari banyaknya tatahan dan sunggingan dalam wayang tersebut yang bergaya Yogyakarta, sehingga kalau menurut Ledjar Subroto ‘Wayang Kulit Manusia’ ini jelas bukan bergaya Surakarta, namun juga bukan bergaya Yogyakarta murni, atau lebih tepatnya bergaya prayungan atau campuran, yaitu pada bentuk postur tubuhnya.
Sedangkan mengenai fungsi wayang, khususnya untuk ‘Wayang Kulit Manusia’ ini sedikit berbeda dengan fungsi wayang pada umumnya. ‘Wayang Kulit Manusia’ ini dalam pementasannya juga menggunakan musik pengiring atau gamelan, akan tetapi yang berbeda hanyalah jumlah instrumentnya saja, yaitu hanya berjumlah lima (5) macam saja: 1) Saron, 2) Kethuk, 4) Kenong, 4) Kendang, dan 4) Gong.
Syarat yang harus dipenuhi guna terselenggaranya pentas wayang kulit tersebut, adalah sajen wayang (sesaji) yang terdiri dari:
1. Dua pasang ayam utuh jantan dan betina
2. Dua buah nasi tumpeng
3. Dua piring nasi liwet beserta lauknya: tahu, tempe, daging sapi,rempeyek ikan asin, telur mata sapi, sambal cabe hijau, sayur nangka, dan kerupuk.
4. Dua lirang pisang raja
5. Dua buah wajik dan jadah ketan
6. Dua piring jenang merah dan putih
7. Dua buah kelapa hijau
8. Dua kendil berisi beras dan telur ayam kampung
9. Dua gelas kopi atau teh panas
Sedangkan untuk sesaji yang lain yaitu yang ditempatkan di kanan dan kiri kelir wayang:
1. Dua batang tebu
2. Dua piring tukon pasar seperti daun sirih, gambir, injet, tembakau Kedu.
3. Dua bungkus rokok kretek
4. Dua buah kain jarik yang masih baru atau belum dipakai
5. Dua buah jagung
6. Dua ikat padi
7. Dua bungkus kemenyan madu elanjutnya untuk lakon wayang yang sering dipentaskan khususnya untuk acara ruwatan atau nadir yaitu lakon:
1. Bima Suci, untuk acara kitanan dan pernikahan
2. Antareja Lahir, untuk acara pernikahan
3. Makutho Romo, untuk acara pernikahan
4. Bima Sawah, untuk acara bersih desa dan tandur (mulai menanam padi)
5. Mintaraga, untuk menyembuhkan orang sakit dan memenuhi permintaan anak kecil yang berambut gimbal (gembelan).
Sebelum pentas ‘Wayang Kulit Manusia’ dimulai biasanya seorang dalang membakar kemenyan sambil membaca mantera.
KEPUSTAKAAN
Anderson, Benedict R.O.G., Mithology and the Tolerance of the Javanesse, Cornell University, Ithaca, New York, 1965
Cassirer, Ernst, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Essei Tentang Manusia, terjemahan Alois A. Nugroho, PT Gramedia, Jakarta, 1987
Geerts, Clifford, The Interpretation of Culture, Basic Books, New York, 1973 ______, The Religion of Java, The Free Press, New York, 1969
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Magelang
http://id.wikipedia.org/wiki/Kulit
http://id.wikipedia.org/wiki/Mitos
Herusatoto, Budiono, Simbolisme dalam Budaya Jawa, PT. Hanindita, Yogyakarta, 1987
Holt, Claire, Art in Indonesia, Cornell University Press, Itaca, New York, 1967
Kempers, Bernet, , AJ, Ancient Indonesian Art, Harvard University Press,Cambridge, Massachusetts, 1959
Linton, Ralph, “The Cultural Background of Personality”, Appleton-CenturyCrofts, New York, (1945), dalam: T.O.
Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999 Mangkudimeja, R.M., Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami ing Jaman Kina (pembaruan),
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1979
Mulyono, Sri, Simbolisme Mistikisme dalam Wayang, Penerbit PT Gunung Agung, Jakarta 1979
_____, Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, Penerbit PT Gunung Agung, Jakarta, 1982
_____, Wayang dan Filsafat Nusantara, Penerbit PT Gunung Agung, Jakarta, 1982
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1990
Otok Herum Marwoto, Wayang Kulit Manusia antara Mitos dan Kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar