• Breaking News

    Misteri Goa Pamijahan Syekh Abdul Muhyi di Tasikmalaya

    Misteri Galih Gumelar - Nama Syekh Abdul Muhyi tak asing lagi bagi para warga di Pamijahan, Tasikmalaya karena sosoknya diyakini sebagai salah seorang wali Allah yang memiliki segudang karomah.

    Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar 1650 Masehi atau 1071 Hijriah dan dibesarkan oleh orangtuanya di Kota Gresik.

    Dia selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Gresik. Saat berusia 19 tahun dia pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkil bin Abdul Jabar selama 8 tahun.

    Syech Abdul Muhyi adalah tokoh ulama legendaris yang lahir di Mataram tahun 1650. Ia tumbuh dan menghabiskan masa mudanya di Gresik dan Ampel, Jawa Timur. Ia pernah menuntut ilmu di Pesantren Kuala Aceh selama delapan tahun. Ia kemudian memperdalam Islam di Baghdad pada usia 27 tahun dan menunaikan ibadah haji.

    Pada usia 27 tahun dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu diajak oleh Syekh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji.

    Setelah berhaji, ia kembali ke Jawa untuk membantu misi Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Awalnya Abdul Muhyi menyebarkan Islam di Darma, Kuningan, dan menetap di sana selama tujuh tahun. Selanjutnya, ia mengembara hingga ke Pameungpeuk, Garut Selatan, selama setahun.


    Ketika sampai di Baitullah, Syekh Abdul Rauf mendapat ilham kalau di antara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syekh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana.

    Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya Syekh Abdul Rauf sebagai tanda-tanda tersebut.

    Setelah itu, Syekh Abdul Rauf menyuruh pulang Abdul Muhyi ke Gresik untuk minta restu dari kedua orangtua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di salah satu daerah di Jawa Barat.

    Sebelum berangkat mencari gua, Abdul Muhyi dinikahkan oleh orangtuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III.

    Tak lama setelah pernikahan, dia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun. Kabar tentang menetapnya Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana.

    Disamping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah.

    Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang diberikan oleh Syekh Abdul Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada.

    Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.

    Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan).

    Di sini dia bermukim selama 1 tahun untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu.

    Setahun kemudian ayahanda (Sembah Lebe Warta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan.

    Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi.

    Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M).

    Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang dicari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas Gunung Kampung Cilumbu.

    Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.
    Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km.

    Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati.

    Pada suatu hari, Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah.

    Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat.

    Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdoa kepada Allah, semoga gua yang dicari segera ditemukan.

    Maka dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Disanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya gua.

    Sewaktu Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicauan burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya.


    Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syekh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.

    Gua yang sekarang dikenal dengan nama Gua Pamijahan diyakini adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod.

    Sejak gua ditemukan Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tarekat.

    Di dalam Gua Pamijahan ada 'Kopiah Haji', yaitu lekukan-lekukan bulat atap gua yang menyerupai peci. Konon jika ada yang pas saat berdiri, Insya Allah akan bisa naik haji. ada juga lubang-lubang seperti mulut gua yang dikisahkan menjadi 'jalan tembus menuju Banten, Cirebon, sampai Makkah'. Wallahu a'lam bishawab.

    Sekian lama mendidik santrinya di dalam gua, kemudian Syekh Abdul Muhyi mulailah menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk.

    Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama Kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra dia adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.

    Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syekh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya.

    Dalam menyebarkan agama Islam Syekh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik.

    Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan.

    Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syekh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdoa, "Bismillaah hirrohmaa nir roohiim, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah, Wa Asy Hadu Anna Muhammaddur Rasulullah,".

    Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa doa yang dibaca untuk memancing?. Dia menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan doa itu dan masuk Islam.

    Dalam kitab Istigal Tareqat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah diceritakan beberapa kisah karomah Syekh Abdul Muhyi. Diantaranya adalah sebagai berikut :

    Pertama, suatu hari ada orang yang dikejar-kejar sekawanan lebah, lari meminta pertolongan Syekh Abdul Muhyi. Kemudian Syekh Abdul Muhyi berseru kepada kelompok lebah itu, “Kenapa kalian lebah bersikap begitu kepada manusia. Apakah kalian tak mengerti di dalam tubuh manusia lahir dan batin ada lathoif laa ilaha illa Allah !” Lebah-lebah itu langsung mati. Lalu tubuh orang itu seperti keluar asap. Dia selamat tanpa bekas luka apapun.

    Kedua, saat seseorang membawa istrinya yang buta setelah melahirkan menemui Syekh Abdul Muhyi untuk minta kesembuhan. Oleh Syekh Abdul Muhyi mereka diajak dzikir, membaca kalimat tahlil (laa ilaha illa Alloh ) sebanyak 165 kali di masjid. Tak berapa lama wanita yang buta itu pun sembuh.

    Ketiga, di waktu yang lain seseorang membawa anak yang terkena stroke, tubuhnya mati separuh untuk menemui Syekh Abdul Muhyi. Kemudian diajak oleh Syekh Abdul Muhyi berzikir kalimat tahlil sebanyak 165 kali. Akhirnya setelah itu anak yang stroke tadi sembuh total.

    Keempat, ketika ada orang yang tidak bisa tidur selama 11 hari dan minta tolong kepada Syekh Abdul Muhyi. Orang itu juga diajak berzikir sebanyak 165 kali dan lagi-lagi orang tadi akhirnya bisa tidur.

    Kelima, Syekh Abdul Muhyi juga menolong orang lewat karomahnya untuk memperbanyak hasil panen dan ternak kerbau.

    Keenam, Syekh Abdul Muhyi juga dikenal kesaktiannya. Beliau mengalahkan dua tukang sihir sakti, dan kemudian dua penyihir itu menjadi murid-muridnya

    Disamping ahli dalam llmu agama Syekh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca Alquran.

    Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijahan untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari Banten Syekh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Ageng Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunungjati juga Syekh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut.

    Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan, Tasikmalaya saat ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin karena dikeramatkan.

    Abdul Muhyi melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi dan Lebaksiuh. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia bermukim di dalam goa, yang sekarang dikenal sebagai Goa Safarwadi, dengan maksud untuk mendalami ilmu agama dan mendidik para santrinya.

    Keberadaan Goa Safarwadi ini erat kaitannya dengan kisah perjalan Syech Abdul Muhyi. Dikisahkan, pada suatu saat ia mendapat perintah dari gurunya yakni Syekh Abdul Rauf Singkel (dari Kuala Aceh), untuk mengembangkan agama Islam di Jawa Barat bagian selatan sekaligus mencari tempat yang disebutkan dalam ilham dengan sebuah gua khusus sebagai tandanya.

    Setelah melalui perjalanan yang sangat panjang dan berat, pada suatu hari ketika sedang asyik bertafakkur, memuji kebesaran Allah, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba menoleh ke arah tanaman padinya, yang didapati telah menguning dan sudah sampai masanya untuk dipanen.

    Konon, setelah dipanen, hasil yang diperoleh ternyata tidak kurang juga tidak lebih atau hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Mengetahui hal ini ia menjadi sangat terkejut sekaligus gembira, karena itu adalah pertanda bahwa perjuangannya mencari gua sudah dekat. Upaya pertama untuk memastikan adanya gua yang dicari dan ternyata berhasil ini, dilanjutkan dengan cara menanam padi kembali di lahan sekitar tempat tersebut. Sambil terus berdoa kepada Allah SWT upaya ini pada akhirnya juga mendapatkan hasil. Padi yang ditanam, berbuah dan menguning, lalu dipetik hasilnya, ternyata menuai hasil sama sebagaimana yang terjadi pada peristiwa pertama. Hal ini semakin menambah keyakinan Syech Abdul Muhyi bahwa di tempat itulah (di dalam gunung) terdapat gua yang dicarinya.

    Suatu hari ketika sedang berjalan ke sebelah timur gunung tersebut, sambil bermunajat kepada Allah SWT, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba mendengar suara air terjun dan kicauan burung-burung kecil dari tempat tersebut. Ia kemudian melangkah turun ke tempat di mana suara itu berada, dan di sana ia melihat sebuah lubang besar yang ternyata sesuai dengan sifat-sifat gua yang cirri-cirinya telah ditunjukkan oleh gurunya.

    Seketika itu juga terangkatlah kedua tangan Syekh Abdul Muhyi, menengadah ke atas sambil mengucap doa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan pertolongan pada dirinya dalam upaya menemukan gua yang dicari.

    Peristiwa penemuan gua ini terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun 1111 H/1690 M, setelah perjuangan berat dalam mencarinya selama kurang lebih 12 tahun. Usia Syech Abdul Muhyi sendiri pada waktu itu adalah genap 40 tahun. Dan gua tersebut pada nantinya akan dikenal dengan nama Gua Pamijahan.

    Gua Pamijahan terletak di sebuah kaki bukit yang sekarang dikenal dengan sebutan Gunung Mujarod .  Nama ini diambil dari kata bahasa Arab yang berarti “tempat penenangan” atau dalam bahasa Sunda disebut sebagai; tempat “nyirnakeun manah”, karena Syech Abdul Muhyi sering melakukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) di dalam gua tersebut.

    Gua Pamijahan ini pada dasarnya memiliki makna khusus dalam perjalanan dakwah dan spiritual Syech Abdul Muhyi. Penemuan dan keberadaan gua ini seolah menjadi simbol yang menandakan bahwa perjalanan spiritual Syech Abdul Muhyi telah mengalami puncaknya. Selain itu, selalu terdapat makna dan fungsi khusus dalam setiap hal yang terhubung secara istimewa dengan tokoh yang menjalaninya.

    Hal ini bisa dipahami karena seperti yang diungkapkan oleh Martin Van Bruinessen, bahwa para tokoh sejarah Islam di nusantara khususnya, biasa melakukan pendekatan supranatural dalam rangka meningkatkan kharisma mereka. Gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan) sebagai tempat Syech Abdul Muhyi melakukan ‘riyadhah spiritual’, dan salah satu pusat penyebaran tarekat Syathariyah di Pulau Jawa adalah contoh dari hal tersebut.

    Para juru kunci di tempat ini bahkan menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui oleh Syech Abdul Muhyi untuk pergi ke Makkah setiap Jum’at. Sementara itu di Cibulakan (Pandeglang-Banten) misalnya, juga terdapat sebuah sumur yang konon berhubungan dengan sumber air zam-zam di Makkah. Menurut riwayat, Maulana Mansyur, yang diyakini sebagai wali, yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui sumber mata air zam-zam dan muncul di sumur ini.

    Ringkasnya, hingga saat ini masih ada “kyai” di Jawa, yang menurut para pengikutnya yang paling fanatik, setiap Jum’at secara gaib pergi sembahyang di Masjidil Haram. Semua ini juga menandaskan perihal lain, yakni kuatnya peranan haji dan Makkah serta hubungannya dengan tradisi spiritual sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorang, dalam pandangan orang Jawa.

    Di lingkungan kekeramatan Pamijahan sendiri terdapat beberapa kisah yang mengandung pengertian di atas. Satu kisah yang sering beredar menyebutkan bahwa, konon Syech Abdul Muhyi bersama Maulana Mansyur dan Ja’far Shadiq sering shalat di Makkah bersama-sama lewat Gua Pamijahan. Ketiga orang itu memang dikenal mempunyai ikatan persahabatan yang sangat erat.

    Kisah supranatural lain di lingkungan kekeramatan Pamijahan adalah kisah yang menjadi muasal diharamkannya merokok di lingkungan tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat, pada suatu hari Syech Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah hendak pulang ke tanah Jawa, keduanya kemudian berunding tentang pemberangkatan bahwa siapa yang sampai lebih dulu di Jawa, hendaklah menunggu salah seorang yang lain di tempat yang telah ditentukan.

    Lalu berangkatlah kedua sahabat tersebut dengan cara masing-masing, yakni; Syeikh Maulana Mansyur berjalan di atas bumi sedangkan Syech Abdul Muhyi di bawah bumi, keduanya sama-sama menggunakan kesaktiannya. Namun, ketika Syech Abdul Muhyi sedang berada dalam perjalanan di bawah laut, tiba-tiba ia merasa kedinginan, lalu berhenti sebentar.

    Sewaktu hendak menyalakan api dengan maksud untuk merokok, tanpa disangka muncul kabut yang membuat sekelilingnya jadi gelap. ia terpaksa berdiam diri menunggu kabut tersebut menipis sambil merokok. Namun kabut itu ternyata semakin menebal. Akhirnya ia teringat bahwa merokok itu perbuatan yang makruh (dibenci Allah). Maka seketika itu juga ia merasa berdosa dan segera bertaubat kepada Allah SWT. Bersamaan dengan itu kabut pun menghilang, dan akhirnya ia bisa berangkat lagi meneruskan perjalanannya.

    Mulai saat itulah Syech Abdul Muhyi menjauhkan diri dari merokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya. Sedang kepada keluarga dan pengikutnya, ia  hanya melarang mereka merokok sewaktu di dekat dirinya. Oleh karena itu, di daerah Pamijahan ada tempat tertentu yang dilarang secara adat untuk merokok, khususnya tempat yang berada di sekitar makam Syech Abdul Muhyi.

    Adapun batas-batas wilayah larangan merokok antara lain: sebelah timur daerah Kaca-Kaca, sebelah barat jalan yang menuju ke gua dimulai dari masjid Wakaf, sebelah selatan dimulai dari makam Dalem Yudanagara (+ 300 m) dari makam Syech, sedang sebelah utara (±300 m) dari makam Syech, yaitu jalan umum yang menuju ke Makam Eyang Abdul Qohar di Pandawa.

    Singkat kata, wilayah-wilayah dengan batasan yang telah ditentukan tersebut adalah daerah larangan merokok menurut adat yang berlaku. Kisah-kisah semacam ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang perlu direnungi adalah hikmah yang berada di baliknya. Sebab, setiap cerita yang ada pada dasarnya menunjukkan keluasan ilmu, keluhuran pribadi dan kemuliaan pengabdian Syech Abdul Muhyi kepada masyarakat dalam perjuangannya mengajarkan prinsip-prinsip Islam dan menjauhkan mereka dari bentuk-bentuk kepercayaan yang sesat.

    Pamijahan sendiri pada dasarnya adalah nama sebuah kampung yang letaknya di pinggir kali, sehingga ia merupakan tempat yang menguntungkan karena masyarakat sekitar dapat mengolahnya untuk mengembang-biakkan ikan, akan tetapi kondisi ini juga bisa sebaliknya, yakni kadang-kadang membawa bencana, seperti banjir yang melanda daerah tersebut beberapa waktu yang lalu. Peristiwa ini membuat banyak rumah yang hanyut karena tidak kuat menahan banjir. Oleh karena itu pula, bangunan-bangunan yang sekarang masih ada dan terletak di tepi sungai harus dibuat permanen.

    Pamijahan termasuk ibu kota Desa di Wilayah Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Sebelum Syech datang ke Pamijahan, sudah ada kampung yakni daerah Bojong, wilayah Sukapura, terletak di sebelah Timur Laut dari kampung Pamijahan sekarang, yang kini dikenal dengan nama Kampung Bengkok. Di sana terdapat makam Dalem Sacaparana, mertuanya Syech Abdul Muhyi.

    Adapun kata “Pamijahan” adalah nama baru, di masa hidup Syech Abdul Muhyi sendiri nama tersebut belum dikenal. Wilayah ini disebut oleh Syech Abdul Muhyi dengan istilah Safar Wadi. Nama ini diambil dari kata Bahasa Arab, yakni: safar yang berarti “jalan” dan wadi yang berarti “lembah”. Jadi, Safar Wadi adalah jalan yang berada di lembah. Hal ini disesuaikan dengan letaknya yang berada di antara dua bukit di pinggir kali.

    Namun sekarang Safar Wadi dikenal juga dengan nama Pamijahan, karena banyak orang yang berdatangan dari pelosok Pulau Jawa secara berduyun-duyun, laksana ikan yang akan bertelur (mijah). Karena itu nama Safar Wadi kemudian berganti menjadi Pamijahan, sebab mempunyai arti yang hampir mirip dengan tempat ikan akan bertelur, dan bukan berarti tempat “pemujaan”.

    Goa Safarwadi merupakan salah satu tujuan utama peziarah yang berkunjung ke Pamijahan. Panjang lorong goa sekitar 284 meter dan lebar 24,5 meter. Peziarah bisa menyusuri goa dalam waktu dua jam. Salah satu bagian goa yang paling sering dikunjungi adalah hamparan cadas berukuran sekitar 12 meter x 8 meter yang disebut sebagai Lapangan Baitullah. Tempat itu dulu sering dipakai shalat oleh Syech Abdul Muhyi bersama para santrinya.

    Di samping lapangan cadas itu terdapat sumber air Cikahuripan yang keluar dari sela-sela dinding batu cadas. Mata air itu terus mengalir sepanjang tahun. Oleh masyarakat sekitar, air itu dipopulerkan sebagai air “zam-zam Pamijahan.” Air ini dipercaya memiliki berbagai khasiat. Menjelang Ramadhan, para peziarah di Pamijahan tak lupa membawa botol air dalam kemasan, bahkan jerigen, untuk menampung air “zam-zam Pamijahan” itu. Dengan minum air itu, badan diyakini tetap sehat selama menjalankan ibadah puasa.

    Syech Muhyi ini disebut juga oleh bangsa wali lainnya dengan gelar A’dzomut Darojat, yang artinya “orang yang mempunyai derajat agung.” Bercerita tentang derajat kewaliyan, tentu kita hanya paham atau mengerti secara sepintas, bahwa yang disebut derajat seperti ini hanya ada di zaman Wali Songo. Sebenarnya pemahaman seperti ini tidak benar, karena derajat Waliyulloh akan terus mengalir hingga sampai pada akhir zaman sebagai sunnaturrosul.

    Syech Abdul Muhyi dalam sejarah hidupnya adalah seorang yang zuhud, pintar, sakti dan terkenal paling berani dalam memerangi musuh Islam. Namun semua itu adalah masa lalu dan kini hanya tinggal kenangan belaka. Hanya saja walau ia sudah ratusan tahun telah tiada, namun rohmat serta kekeramatannya masih banyak diburu, terutama oleh para peziarah yang minta berkah lewat wasilahnya.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Misteri

    Mitos

    Artikel