• Breaking News

    Misteri Keris Menurut Keyakinan Jawa

    Misteri Galih Gumelar - Keris adalah sejenis senjata tajam yang memiliki tempat terhormat dalam masyarakat Jawa. Ia tidak hanya berfungsi sebagai senjata, namun juga sebagai perlengkapan busana, simbol status, pemberi kewibawaan, dan sebagai perlengkapan dalam upacara adat. Bahkan keris, atau juga disebut sebagai curiga, menjadi sebagai salah satu dari lima kelengkapan yang diperintahkan oleh Sultan Agung harus dimiliki oleh seorang pemuda Mataram/Jawa. Kelimanya yaitu curiga (keris), wisma (rumah), turangga (kuda), wanita (istri), dan kukila (burung).

    Rasa hormat yang tinggi pada keris nampaknya telah berakar jauh sebelum keris itu dikenal secara luas. Secara umum, Nusantara tidak memiliki banyak bijih besi. Jawa bahkan tidak menghasilkan bijih besi sama sekali. Di sepanjang masa prakolonial, hak mengerjakan besi dianggap melekat pada sekelompok pengrajin pemegang hak istimewa yang dianggap memiliki pengetahuan dan keahlian menempa besi. Mereka disebut pande besi. Walau di sepanjang Nusantara para pande besi dianggap sebagai empu yang memiliki kekuatan magis atau kekuatan gaib, namun konteks ritual dan magis pengolahan besi terasa lebih kuat di pulau Jawa dikarenakan kelangkaan besi itu sendiri.

    Namun ternyata dibalik minimnya bahan baku yang ada, para pande besi di Jawa mampu mengembangkan teknik pengolahan besi yang menakjubkan. Keris tidak hanya mewujud sebagai senjata yang mematikan, namun juga mampu menampilkan sisi keindahan dari proses seni pengolahan logam. Pada perkembangannya, istilah pande besi hanya disematkan pada pengrajin logam biasa. Sementara pembuat keris ataupun senjata-senjata berharga lain disebut sebagai empu.

    Keris diolah menggunakan tiga bahan utama. Besi digunakan karena kekuatan dan keuletannya. Baja ditambahkan untuk memberi unsur ketajaman. Bahan pamor disertakan untuk memberi unsur estetika.

    Proses pembuatan keris diawali dengan menempa dua bilah besi wasuhan yang telah yang disisipi bahan pamor di tengahnya. Besi wasuhan adalah besi yang sudah ditempa berulang kali untuk membuang zat-zat pengotor. Sedang pamor adalah logam lain yang bahannya mengikuti ketersediaan. Bahan pamor yang kini biasa digunakan adalah nikel. Namun jika memang tersedia, bahan pamor bisa diambil dari batu meteor. Pamor ini nantinya berwujud corak warna terang pada permukaan keris yang berwarna gelap. Pola pamor dapat bermacam-macam, tergantung bagaimana cara empu mengolah bahan. ?

    Bilah besi yang telah disisipi bahan pamor tersebut ditempa sampai memanjang, dilipat, ditempa lagi, dilipat, dan ditempa lagi sehingga tercipta lapisan-lapisan yang menyatu. Keris yang dibuat di masa kini umumnya memiliki 256 saton (satuan lipatan), sedang konon keris-keris pada masa lalu dibuat sampai memiliki lebih dari seribu saton. Proses penempaan yang berulang ini memiliki dua macam fungsi, yaitu untuk membuang zat-zat pengotor pada besi dan untuk memunculkan lapisan pamor.

    Setelah proses melipat itu selesai, maka diambil kira-kira seperempat bagian bawah untuk kemudian ditekuk membentuk huruf U. Bagian ini nantinya yang akan dibentuk menjadi ganja, bagian melebar yang terdapat di pangkal keris. Tiga per empat bagian sisanya dibagi dua sama besar berbentuk trapesium, kemudian sebuah baja diletakkan diantaranya. Baja dan saton hasil olahan tadi kemudian disatukan. Hasil akhir dari proses ini dinamakan kodokan.

    Kodokan kemudian ditempa kembali mengikuti bentuk dasar yang diinginkan. Hasil dari proses ini disebut calonan. Calonan kemudian ditipiskan, dikikir, dan dipahat untuk membentuk dhapur dari keris yang diinginkan. Dhapur bisa diartikan sebagai penampilan fisik sebuah keris. Keris dapat dibagi ke dalam dua bentuk dasar. Keris yang lurus dan keris yang berlekuk (keris luk). Dua bentuk dasar ini kemudian memiliki begitu banyak varian berdasar ricikan, yaitu perincian dari bagian-bagian sebilah keris.

    Setiap dhapur memiliki identitasnya masing-masing. Misalnya dalam keris berlekuk dhapur cengkrong, keris berbentuk luk satu (satu lekukan), memiliki makna agar pemiliknya bersikap dan berwatak sederhana. Dhapur jangkung, keris berbentuk luk tiga, bermakna dalam hidup tidak perlu khawatir karena sudah ada yang menghidupi. Harapannya agar sang pemilik dapat bersikap semeleh dan sumarah, mampu berserah diri pada Tuhan. Berdasar dari variasi ricikannya, ada banyak sekali jenis dhapur yang ada.


    Harapan dan doa yang terkandung dalam keris tidak hanya diwujudkan pada bentuk fisik semata, namun juga ditiupkan dalam doa-doa yang dipanjatkan empu sebelum, saat, dan setelah proses pembuatan. Aspek ritual nyatanya tidak dapat dipisahkan dari pembuatan keris sejak masa prakolonial hingga kini. Sebelum mengolah logam, seorang empu akan memulainya dengan berdoa terlebih dahulu pada Tuhan Yang Maha Esa. Melakukan puasa dan menyiapkan ubarampe (kelengkapan upacara). Ada pula hari-hari untuk puasa, ataupun hari-hari pantangan untuk bekerja. Semua ini dilakukan untuk menyiapkan sikap batin yang tepat untuk mengerjakan keris yang dimaksud. Sikap batin yang tidak tepat, seperti emosi yang tak diharapkan, dapat mengakibatkan kegagalan pada hasil yang diinginkan.

    Menilik dari proses pembuatan dan bahan baku yang digunakan, maka tidak mengherankan apabila masyarakat Jawa menyebut keris sebagai tosan aji. Tosan berarti besi dan aji berarti mempunyai nilai atau harga, sehingga dapat dikatakan tosan aji adalah besi yang bernilai atau berharga. Salah satu bentuk penghormatan ini diwujudkan dalam pemberian nama pada keris secara individu. Sampai saat ini, Keraton Yogyakarta memiliki puluhan keris yang di awal namanya disematkan gelar "Kangjeng Kiai". Penyebutan nama dengan kangjeng maupun kiai merupakan penghormatan yang sangat besar dalam budaya Jawa.

    Kejayaan keris terjadi pada era Majapahit. Penggunaan keris sebagai senjata mulai berkurang bersamaan dengan surutnya Majapahit, yaitu pada saat kerajaan Demak mulai menguasai dan mengembangkan teknologi senjata api berupa meriam. Teknologi tersebut diperkenalkan oleh seorang prajurit Portugis yang membelot saat Adipati Unus diperintahkan mengusir Portugis di Malaka pada tahun 1511. Seiring pesatnya kemajuan teknologi, maka keris sebagai senjata perang pun semakin ditinggalkan.

    Namun demikian, tidak berarti masyarakat Jawa benar-benar meninggalkan keris sebagai bagian dari mereka. Pada awal abad ke-16, Tome Pires, seorang penjelajah dari Portugis menulis kesaksiannya saat mengunjungi pulau Jawa, "Setiap orang Jawa, kaya atau miskin, harus mempunyai keris di rumah, maupun sepucuk tombak dan sebuah perisai... Tidak ada laki-laki yang berumur antara dua belas dan delapan puluh tahun yang berani keluar rumah tanpa keris terselip di sabuk".

    Fungsi keris berkembang lebih dari sekadar senjata. Para Sultan mempercayakan keris miliknya kepada wakil-wakil mereka, sebagai bukti kewibawaan yang diwakilkan pada mereka. Keris tersebut dianggap sebagai perwakilan dari kehadiran pemiliknya. Bahkan, ditemui juga keris yang digunakan untuk mewakili pemiliknya dalam upacara pernikahan.

    Keris juga digunakan sebagai pusaka keluarga, simbol status, ataupun simbol yang diturunkan dari ayah ke anak sebagai perwujudan keberadaan suatu garis keturunan. Di lingkungan Keraton Yogyakarta dapat kita temui keris Kangjeng Kiai Ageng Kopek yang hanya boleh dikenakan oleh Sultan, juga keris Kangjeng Kiai Joko Piturun yang diberikan Sultan hanya kepada seseorang yang beliau tunjuk sebagai pewaris tahta.

    Dalam masa peperangan pun, keris tidak mesti mempunyai fungsi utama sebagai senjata. Selama berlangsungnya Perang Jawa (1825-1830), Pangeran Diponegoro mengenakan keris yang bernama Kiai Ageng Bondoyudo ("Sri Paduka petarung tanpa senjata"). Keris yang lebih berfungsi sebagai jimat ini dibuat dari hasil peleburan tiga buah pusaka, cundrik Kiai Sarutomo, lembing Kiai Barutubo, dan keris Kiai Abijoyo.

    Dari zaman ke zaman, keris terus menjadi bagian dari kebudayaan Jawa. Bahkan keris yang dikenal oleh bangsa asing sebagai belati asimetris ini telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia sejak tahun 2005. Sebagai sebuah benda logam, keris memiliki begitu banyak aspek yang bisa dikaji. Mulai dari pergeseran fungsi, ragam bentuk dengan tingkat estetika yang ditampilkan, nilai peninggalan sejarah yang dikandung, hingga aspek spiritual yang menyertainya.

    Upaya memahami keris memang tidak dapat dilakukan hanya dengan memandangnya sebagai senjata, apalagi aspek mistis semata. Memahami keris adalah menyelami alam pikir masyarakat Jawa. Alam di mana fungsi, estetika, dan simbol-simbol akan nilai-nilai kehidupan ditempa menjadi satu.


    Daftar Pustaka:
    Carey, Peter. 2012. Kuasa Ramalan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
    Lombard,Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
    Tim Penulis. 2008. Kraton Yogyakarta: Sejarah dan Warisan Budaya. Yogyakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
    Danapratapa, Episode "Tosan Aji". 2015. Produksi Tepas Tandhayekti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Misteri

    Mitos

    Artikel